Kesedihan menyelimuti. Cahaya bola itu mulai meredup
terbiaskan luka dalam. Perasaan lara yang menggerayang hatinya kini semakin
menggelora. Dengan kekecewaan yang sangat besar ia meninggalkan kedigdayaan
yang membelenggu raga dan jiwannya. Surai hitam legamnya menjuntai ke bawah
saat kepala itu dipaksa menunduk oleh nasib.
“Maafkan aku”. Lirihanku mengalun memutus ketegangan yang
mengukung kami. Namun tak satupun uraian kata yang sudi terucap dari bibir
tipisnya itu kendati aku telah meruntuhkan asanya. Serpihan memori di
celah-celah benang kepercayaan yang dipaksa putus oleh takdir. Memori itu
kembali menghempaskan diriku secara kasar ke waktu lalu.
Demokrasi telah mati. Absurditas kini menjadi hal yang dapat teratasi. Didepanku kini, sebuah hal yang kian lumrah di kota ini kembali menampakkan eksistensinya. Seorang wanita tua dituduh melakukan pembunuhan berencana dengan ancaman hukuman mati. Semua kata yang dilontarkan para saksi itu jelas adalah kebohongan penuh drama hanya untuk menyudutkan wanita tua itu dan sebaliknya, menjadi alibi kuat untuk menyokong seseorang yang seharusnya duduk bersimpuh disana. Tentu jelas ini hanyalah sebuah kabaret pengambing hitaman dan wanita itu dengan segala ketidakberuntungan terpilih oleh nasib. Sidangpun berakhir dengan penindaklanjutan penyidikan bukti yang diberikan oleh pihak penuntut.
Ekor mataku beralih pada seorang teruna kikuk dengan kacamata tebal kedodoran dibatang hidungnya. Ah, dia adalah pembela umum untuk terdakwa yang diberikan secara sukarela oleh pemerintah. Sayangnya, sikapnya lantas berbanding terbalik dengan tubuh tegap dan durja menyeramkan miliknya. Dari segi intelektual yang ia miliki, tak kupingkiri, teruna itu jelas tak pantas menyandang gelar pengacara.
Saat atensiku kembali terfokus ke depan, seorang gadis muda telah berdiri di depanku, menghadang langkahku. Sepasang iris hitam pekatnya menatapku tanpa emosi. Untuk saat-saat seperti ini, dia cukup tenang, mengingat wanita tua yang menjadi terdakwa adalah ibunya. "Saya telah mencari tahu tentang Anda. Tuan, tolong jadilah pengacara ibu saya!" ucapnya menunduk dalam dengan surai hitam kemilaunya yang menjuntai indah.
"Tidak." Tak perlu berbasa-basi aku menolak tanpa berpikir panjang. Bibir tipis miliknya bergetar, namun tetap tak menggoyahkan keputusan bulatku. Kembali, aku melanjutkan langkahku melewati gadis muda itu. Namun tangan kecil berlumur peluh dingin itu menahan pergelangan tanganku. "Ibuku tak bersalah!" raungnya penuh kegetiran. Aku tahu. Tapi …"Kau tak akan pernah menang, Gadis Kecil," ucapku dingin. Itulah kenyataannya. Aku berbalik menatap parasnya yang kini ditampar oleh kenyataan. "Keadilan tidak untuk mereka yang tak memiliki pengaruh," ucapku menohok kepercayaan dirinya.
"Kenapa rakyat kecil seperti kami tak layak mendapatkannya, Tuan?" lirihnya nestapa. Ia meremas ujung bajunnya yang lusuh, bahu itu merosot jatuh, keberaniannya seolah menguap ditelan bayangan. "Lantas, dimana rakyat kecil seperti kami dapat mencicipi rasa keadilan?" tanyanya menuntut. Kembali, tengadah ia menatapku. Bola mata yang memancarkan tekad tak tergoyahkan itu begitu menusuk batinku. Bibir tipisnya bergetar namun tekadnya tak kunjung surut. Tanpa rasa gentar sedikitpun, ia menatapku dalam. "Bukankah keadilan adalah tonggak hukum? Dan hukum tercipta untuk memberikan persamaan pada makhluk yang sama tanpa membedakan status atau apapun itu."
Untaian kata penuh tekad itu berhasil menohok hatiku. Tak kiranya dia mengingatkanku akan diriku yang dulu, penuh tekad dan perasaan yang menggebu. Rasa empati mulai menggelayar di dadaku. Namun bisakah aku? Kutatap matanya lurus, menyelisik secuil dusta disana, namun hasilnya nihil. Tak ada dusta maupun rasa haus balas yang diharapkannya, melainkan ia mendapatkan sepercik keadilan.
"Tuan, saya memang tak dapat membayar Anda sepersen pun. Tapi tidakkah Anda mau memberikan kesempatan bagi gadis yang tak lagi punya harga diri ini? Saya hanya menginginkan hakku sebagai seorang warga negara dan manusia." Hati nuraniku tersentuh. Dan pada akhirnya, kata itu meluncur dari bibirku kendati batinku masih berperang. "Baiklah." Yang sesaat kemudian kusesali. Namun senyuman yang merekah sempurna di bibir tipis itu sontak menggugurkan setiap kegoyahanku. Membuatku lupa akan satu hal yang terlewatkan. Sang tirani kini menanti mengeksekusi diriku.
Tak ayal, bergelut selama seminggu dengan segala bukti,
kini, peluh ini akan terbayar. Semua bukti ini cukup membebaskan wanita tua itu
dari tuduhan salah alamat itu. Dengan ini, salah satu petinggi yang menjadi
akar permasalahan ini tak akan dapat menampik kebenaran. Ariani, gadis berusia
15 tahun, gadis muda dengan durja nan elok itu tak berhenti merapalkan terima
kasih.
"Tuan, jika nanti ibuku telah terbebas. Sudikah Anda berkunjung ke kediaman kami? Mungkin tak akan pantas untuk Anda, tapi saya berani bertaruh, Anda akan menyukainya. Saat senja datang, warna merah nan elok rupawan lantas berhamburan menembus ladang gandum di belakang rumah. Dimana saat itu, barisan kawanan burung membelah cakrawala," tuturnya dengan mata berbinar bahagia.
Kulit seputih porselennya nampak berkilau ditimpa mentari ufuk Barat. Tawanya mengalun bak melodi indah pelepas gundah. Melihatnya, sungguh membuatku rindu akan adik kecilku di kampung halaman. Ah, bagaimana kabarnya sekarang? Jika umur masih ada esok, akan kubeli sekotak cokelat putih kesukaannya, mungkin juga dengan sepasang mukena baru untuk ibu. Entah sudah berapa lama tak juga aku kunjung menemui mereka. Kesibukan di dunia politik benar-benar memeras peluh. Melihat Ariani dengan semangat menggebu sungguh mengingatkanku akan masa muda. Ah, ternyata bernostalgia tak seburuk yang kukira.
Hari itu, aku membawa Ariani makan malam di sebuah restoran dengan hamparan laut yang menjadi latar pelengkap. Matanya berpendar takjub, tak kuasa aku menahan tawa saat melihatnya begitu susah payah memotong daging menggunakan pisau atau saat kebingungan menatap sendok yang harus ia gunakan. Sepintas, aku menerka apakah ini rasanya memiliki seorang anak? Bagi pria lajang yang telah menginjakkan kaki di umur 35 tahun, kiranya aku harus segera bergegas mencari pasangan.
Beristirahat sejenak dari kepenatan lantas mencari pasangan hidup, mungkin itu jalan yang tepat.
Malam itu, yang kuingat aku mengantar Ariani pulang ke rumah
kerabatnya kemudian kembali ke kediamanku lantas melepas penat di bawah guyuran
air hangat. Sebelum benar-benar terlelap, kembali kususun bahan untuk sidang
besok. Aku tak tahu bagaimana atau kapan persisnya, namun saat kusadari,
beberapa orang telah menyelinap masuk ke kamarku. Ingin ku teriak namun
tenggorokan ini lantas tersendat, seolah ada sebuah batu menyumbat lajunya.
Sang tirani akhirnya menampakkan wujudnya ….Satu … dua … tiga … empat …. Ada empat orang! Dan semuanya berparas menyeramkan dengan balutan jas hitam yang membungkus tubuh berototnya. Layaknya algojo, mereka membawa berbagai macam senjata di tangannya. Tubuhku sontak menegang sempurna.
"Tuan Ferdinand? Saya datang kemari memohon suatu hal pada Anda. Kiranya Anda mau membantu kami." Suara bariton menyahut memutus keheningan yang mencekik. "Apa … itu?" Tanpa perlu bertanya, otakku tentu dapat mencerna apa yang terjadi. "Saya ingin Anda kalah dalam sidang besok," ujarnya dengan kesopanan yang benar-benar dibuat-buat. Ia tersenyum menatapku, senyuman yang nyaris bagaikan seringaian.
Wajah riang Ariani kembali terbesit dalam benakku, pengharapan besar yang diberikan gadis itu demi sebuah nyawa yang ia sayangi. Tidak. Tak akan kusia-siakan. Sesaat sebelum aku berkata, ia mengeluarkan beberapa lembar foto dari sakunya. Mataku membulat tak percaya dengan hati yang meluruh penuh kegetiran. Itu ibu dan adikku …."Kami memohon kerjasama Anda, Tuan."
Maafkan aku, Ariani. Seharusnya, sejak awal aku tak menerima
permintaannya. Kenapa sangat sulit untuk berhenti menjadi seorang pecundang? Lamat-lamat,
aku mengangguk lemah disusul senyuman kepuasan oleh mereka. Dunia ini, layaknya
sebuah sandiwara. Dan aku adalah satu dari sekian ribu pecundang yang berada
pada bayang-bayang penulis. Pada hakikatnya, kebenaran selalu tunduk pada
kenyataan. Keadilan berlaku pada mereka yang memiliki pengaruh, itulah hukum
yang berlaku di dunia ini.
"Maafkan aku," lirihku menatap durjanya yang muram. Aku meruntuhkan asanya, memecahkan setiap serpihan harapan yang ia bangun dengan tekad yang menggebu. Dengan kebisuanku di ruang sidang, telah kurenggut nyawanya bahkan jauh sebelum sidang itu berakhir. Aku telah membunuh batinnya, mencabik-cabik secuil harap dari genggamannya. Lantas, masihkah aku harus mengharapkan rasa haus balas ataupun sekedar untaian kata dari bibir tipis itu? Betapa serakahnya diriku ini. Kini, sebuah nyawa-tidak, tapi dua nyawa tak bersalah kembali merenggang akibat lemahnya hukum yang berlaku.
Dan kita terbelenggu dalam ego tanpa titik. Untuk tuntutan membenarkan yang abstrak. Terbalut dahaga tahta dan kilauan, dan berbanding terbalik dengan isyarat Tuhan yang dibenak. Wahai petinggi-petinggi. Saya bertanya apakah selalu orang-orang yang jujur akan kalah dengan orang yang ber-uang? Dimanakah keadilan wahai petinggi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar